In the Moment: Write about living in the present moment.
Hello,
my gap moment! Dulu di saat aku belum setua sekarang, aku berpikir bahwa
aku tidak akan lagi bisa mengalami yang namanya ‘gap moment’. Karena di
pikiranku, menjadi dewasa adalah tiap harinya punya banyak tanggung jawab dan hal yang harus
dilakukan supaya hidupku bisa berjalan dengan layak dari hari ke hari. But,
here I am. Going back to my Mom’s hometown where my family are living for the
last many years after I decided to resign myself from my job in my lovable city. Berhenti
sementara dari kesibukan eight-to-five di hari kerja dan benar-benar
banyak menghabiskan waktu hanya di rumah. Sejujurnya, ini adalah saat yang
sangat aku inginkan sedari lama. Sejenak berhenti dari hiruk pikuk pekerjaan
hanya untuk melakukan apa pun yang aku inginkan dan rehat dari hari-hari yang
melelahkan. To give myself a chance to sense living in the moment again.
Sebelumnya,
aku mau sedikit membagikan perspektifku tentang ‘In the moment’. ‘In
the moment’ menurutku adalah salah satu kalimat yang bisa menjadi mantra
yang sungguh ajaib. It’s such a magical words. Di saat pikiranmu sedang
berkelana terlalu jauh di luar kendalimu, dengan mengingat kalimat ‘in the
moment’ saja sudah bisa mengembalikan pikiranmu kembali ke saat sekarang. Jika
dengan mengingatnya saja masih kurang cukup, dengan merapalkannya beberapa kali
sangat bisa membuat diri menjadi tenang. ‘In the moment’ punya kekuatan
tersendiri untuk menghilangkan kecemasan karena pikiran yang masih mengingat kesalahan-kesalahan
di masa lalu, dan juga saat terbayang hal-hal fana yang belum tentu terjadi di
masa depan. Sebuah kalimat pengendali agar pikiranmu menetap di dirimu saat ini
yang sedang menghirup nafas dengan ketukan teratur, meraba hal-hal yang
terjangkau dekat denganmu, melihat hal-hal yang hanya mampu dilihat oleh
jangkauan matamu yang ada kini, merasakan emosi paling nyata yang ada hadir
bersamamu di saat ini saja, dan melakukan hal-hal yang mampu untuk kamu lakukan
dengan kemampuanmu.
Back
to my story. Di kondisi pribadiku, aku memutuskan untuk berhenti tepat di
waktu transisi hidupku dari yang sebelumnya memang sesibuk itu dan penuh dengan
banyak kekhawatiran tentang hidup ini. Jadi yang saat ini sedang aku lakukan
memang istirahat. Memang secara harfiah beristirahat. Tidak disibukkan dengan masalah
pekerjaan profesional apa pun; banyak tidur siang; membaca buku yang sudah lama
ingin aku baca; bermain dengan bayi kucingku yang sekarang sedang di usia
lucu-lucunya; having a loooots of quality times with my Mom; makan apa
pun yang aku cuma bisa beli di Padang; main game yang selama ini tidak
bisa aku mainkan saking sibuknya. Aku benar-benar melakukan hal-hal yang bisa
membuat diriku melepas penat yang sudah ada bertahun-tahun dan berbahagia
dengan hal-hal sederhana. Oh ya, termasuk juga dengan menulis tulisan ini!
Karena kapan lagi, kan? Bisa mendapatkan kesempatan untuk beristirahat
sementara, sebelum pekerjaan baru di masa depan datang lagi. This moment is
such a luxury thing for my own self.
Di saat aku masih bekerja,
pastinya aku punya banyak sekali activities wish-list yang memang tidak
bisa aku lakukan, even in my weekends. Aku adalah tipikal orang yang
sebenarnya walau pun sedang beristirahat, namun masih tetap butuh waktu untuk
menstimulasi pikiranku. Karena personally, itu yang membuat diriku bisa
menjalani hidup yang bermakna dan membuat aku merasa sudah menjalani hari
dengan baik. Jadi aku punya beberapa goals untuk diriku sendiri yang
tidak lepas dari hobiku – menulis dan membaca. Juga waktu untuk memikirkan
hal-hal yang masih bisa ditingkatkan dalam aspek soft-skills of daily life kayak
financial management dan productivity management. Yang lainnya,
aku ingin punya waktu untuk bisa memikirkan tentang hal-hal apa saja yang
benar-benar ingin aku jalani sebagai seorang profesional di masa depan. Hal
yang benar-benar membuatku bisa hidup sebagai diriku sendiri tanpa banyak
topeng yang bisa membuatku kehilangan diriku sendiri.
Waktu aku masih di masa
sibukku, rasanya setengah mati ingin melalukan semua keinginan tersebut. Namun,
tenaga yang aku miliki sudah terlanjur habis oleh kewajiban harian yang harus
dilakukan – ini juga menjadi salah satu concern yang aku miliki untuk
diriku sendiri. Mungkin karena aku masih punya time management yang
buruk untuk diriku sendiri. Bisa dibilang bahwa aku sudah tidak hidup in the
moment saat itu, karena hal yang hanya bisa aku pikirkan saat itu hanyalah
kesibukanku yang tidak ada habisnya. Jiwaku sudah meronta untuk minta berhenti
sementara. But life said that I still need to go on, no matter how tired I
was back then.
Pelan tapi pasti, akhirnya
momen di saat aku benar-benar tidak bekerja secara profesional pun tiba.
Hahaha, aku hanya bisa tertawa dahulu saat ini jika ditanya apakah aku sudah
menjalani hari-hariku yang kini sesuai dengan ekspektasiku di saat masih sibuk
dahulu. Sungguh jauh dari ekspektasi pribadiku. Hampir semua hal yang aku
lakukan malah jauh dari berpikir. Aku benar-benar melarikan diriku dari yang
namanya ‘berpikir’. Aku tidak tahu apakah ini karena aku masih baru sekali di
dalam fase gap moment ini, sehingga aku sebisa mungkin ingin melarikan
diri dari kenyataan dan rutinitas yang aku lakukan sebelumnya. Mungkin akan
lain lagi ceritanya jika di masa depan kesibukan bekerja secara profesional
belum kunjung tiba. Aku mungkin akan betul-betul mengerjakan semua hal yang ada
di dalam activities wish-list yang sudah aku buat sedari dulu.
Hal-hal yang sedang aku
jalani sekarang benar-benar jauh dari ekspektasiku di saat sibuk kemarin. Have
you heard a word ‘kemaruk’? Mungkin kata itu yang paling pas
menggambarkan imajinasiku tentang gap-time ini di saat aku masih sibuk. Di
pikiranku setiap hari, aku akan melakukan hal A. Lalu setelah selesai, aku akan
lanjut ke B. Aku akan menulis tentang C, D, dan E. Dan seterusnya. Namun, di
saat masanya tiba, aku malah memilih untuk benar-benar hening dan tidak
melibatkan diri dalam kesibukan apa pun. Pemikiran kemaruk itu mewakili logikaku,
sedangkan jiwaku menginginkan istirahat. To be honest, both of them are fighting
within myself, right at this moment. Somehow I feel free, but on the other hand
I feel guilty because I totally don’t accomplish anything as I expected.
Pertarungan yang aku sebutkan
barusan adalah salah satu hal yang membuat aku saat ini tidak live in the
moment. Padahal kalau dipikirkan dengan logika, waktu gap moment ini
memang diberikan Allah buatku – betul, ini adalah pemberian dari Allah – untuk
istirahat. Bukannya buat menyibukkan diri dengan berbagai hal lain yang membuat
diriku tidak bisa kondusif mengembalikan diriku ke kondisi yang lebih prima. Hmm,
mungkin memang karena sedari dulu aku sudah terbiasa dengan hustle-life.
Aku sudah terlanjur terbiasa dengan perasaan ‘dikejar’ oleh sesuatu yang harus
diselesaikan. Sehingga di saat aku tidak melakukan apa pun, rasanya asing
sekali. Aku tidak terbiasa.
Pikiran lainnya yang
muncul saat ini dan membuatku tidak live in the moment adalah tentang
kapan gap moment ini akan selesai. I mean, I am being complicated
right now. Memang wataknya manusia yang nggak sabar kali, ya? Di saat sibuk
kerja, ingin sekali punya waktu untuk istirahat dan melakukan apa pun yang
diinginkan. Namun sekalinya waktu istirahat sudah datang, secara tidak sadar aku
malah minta buat disibukkan lagi. Or is it something that we call as a need
to have a ‘balance life’? Punya kecenderungan untuk kerja tidak terlalu
lama, dan istirahat tidak terlalu lama. Namun hidup ‘kan tidak seperti itu.
Aku pernah dengar dari
suatu video di Youtube tentang kehidupan seorang ibu yang bekerja secara
profesional di kantor dan merangkap menjadi ibu rumah tangga tanpa asisten di rumah.
Hal yang dia utarakan pertama kali di saat ditanya mengenai hidupnya adalah “You
will experience the things when you are too tired and want to give up, but you
still have to do all of your routines both as a mom and a career woman”. Pikirku,
ibu-ibu seperti ini banyak sekali di luar sana. Mereka pasti ingin sekali punya
me time. Namun saking mereka diamanahkan untuk memiliki anak dan juga
menafkahi keluarga kecil mereka, mereka pasti akan sulit sekali untuk punya me
time walau pun waktunya sudah dicari-cari. Atau aku tak perlu pergi
jauh-jauh, aku juga bisa merefleksikan diri dengan teman-teman seumuranku yang
seperjuangan karena pekerjaan. Mereka masih melalui hari-hari melelahkan yang
sama dengan yang aku lalui pada hari-hari biasa, dan saat ini aku yakin di antara
mereka ada yang ingin sekali ambil cuti sehari saja namun tidak bisa karena
berbagai tuntutan hidup. Then, here I am. A single woman living only for
herself and at this moment having a lot of leisure time because of this gap
moment. I should appreciate this blessing more by not thinking if I am okay to
do nothing or I need to stay busy as I used to be.
Jadi di saat ini agar aku
bisa live in the moment dan tidak terusik dengan pikiran-pikiranku yang ‘ribut’
itu, aku mencoba untuk mindful dengan diriku sendiri. Jujur, sebenarnya
sulit untuk menjadi mindful – hingga kini aku masih belajar dan belajar
untuk jadi mindful. Karena kamu harus punya kemampuan untuk sadar di
saat pikiranmu sudah terlalu complicated dan tidak terbawa semakin jauh
dengan pikiran tersebut. Biasanya, aku akan sadar bahwa aku sedang tidak
baik-baik saja di saat aku sudah merasa buntu dan pikiranku hanya berputar-putar
di satu poin yang sama.
Seperti yang sudah aku
sebut di beberapa paragraf awal, aku merapalkan kata-kata yang senada dengan makna
‘in the moment’ jika aku merasa bahwa diriku sudah mulai tidak kondusif.
Lalu aku melanjutkan untuk ‘berbicara’ dengan diriku sendiri. Contohnya, aku
bilang ke diriku sendiri bahwa gap moment adalah hal langka yang bisa aku
nikmati. So, just let it be. No restrictions at all. Jika aku merasa aku
ingin rebahan saja, then I’ll just let it be. Jika aku ingin menulis, then
aku menulis. Aku akan membiarkan diriku memilih senyamannya tanpa ada
keterpaksaan. Tapi ini tidak menjamin bahwa besok-besoknya aku akan tetap aman dengan
sekali mindfulness. Pikiran complicated dan isinya tentang itu-itu
saja pasti akan bisa kembali kapan pun. Jadi, mindfulness itu aku
lakukan dengan repetisi. Tergantung kapan pikiran sulit itu kembali lagi.
Terlepas dari semua ke-kompleks-an pikiranku – mungkin kalian yang baca tulisan ini sudah dari tadi gemas dan mau bilang “May, apa sih susahnya istirahat doang? Padahal ga perlu pake overthinking segala loh 😭”—aku mau bilang ke diriku sendiri makasih yang sebanyak-banyaknya karena sudah sejauh ini bertahan melalui kehidupan dengan segala warnanya yang dominan dipenuhi kesibukan bekerja. Akhirnya Allah mengabulkan permintaanku untuk punya gap moment sementara waktu. Sebuah masa transisi yang selama ini sudah aku tunggu kedatangannya. Bukannya tidak bersyukur, tapi mungkin karena aku tidak biasa tiba-tiba melewati waktu yang mainly tidak punya goals apa pun yang mau dicapai dahulu di saat ini. Makanya aku jadi merasa tidak nyaman dengan diri sendiri. But, let's try to live in the moment to the fullest that we can! Istirahatlah dulu, May. Allah sediakan gap moment sepanjang ini karena di masa depan mungkin akan datang lagi kesibukan baru yang lebih tidak ada habisnya. Jadi untuk saat ini, kamu bisa melakukan apa pun yang kamu bisa untuk memulihkan tubuh dan lebih khususnya lagi jiwamu. So we can come back to our routines stronger and healthier! Relax, and enjoy your moment, May!

Komentar
Posting Komentar